BELAJAR DARI SEJARAH

BELAJAR DARI SEJARAH
Ide tulisan ini muncul ketika penulis menyaksikan berita tentang Gayus setelah vonis, bersamaan dengan itu mendengarkan pula TV Tepian Chanel yang menyiarkan bacaan Al-Qur'an surat Yusuf dan terjemahannya

BUANG PROVOKASI PERANG

BUANG PROVOKASI PERANG
Kliping opini Kunarso 2005

BUANG PROVOKASI PERANG

BUANG PROVOKASI PERANG
Kliping opini Kunarso tahun 2005

Senin, 30 Agustus 2010

UNTUNG RUGI PERANG INDONESIA-MALAYSIA

PERANG INDONESIA–MALAYSIA,
Perang Sesama “Indon”, Inginkah?
Oleh : Kunarso

“Indon” begitulah orang Malaysia menyebut orang Indonesia. Penulis semula tak mengerti arti sebutan itu ketika ditanya oleh seorang pelayan rumah makan pada saat berkunjung di Kota Kucing Negeri Serawak Malaysia pada tahun 2002. Memang, banyak diantara mereka yang naik kendaraan umum, menjadi penjaga toko, pekerja bangunan atau pelayan di rumah makan adalah orang yang berasal dari Indonesia. Jika mendengar orang berbicara dalam Bahasa Indonesia, maka mereka akan tertarik lalu bertanya: “Apakah anda Indon?”.
Pengunjung dari Indonesia yang tak biasa mendengar pertanyaan seperti itu sering kali hanya melongo tidak tahu bagaimana harus memberi jawaban. Melihat pengunjung yang belum juga memberi jawaban, bisa jadi pertanyaan akan di ulang: “Apakah anda dari Jakarta?”. Setelah mendapat pertanyaan demikian, maka baru bisa sedikit mudah untuk dimengerti dan ketika dijawab “Saya dari Samarinda, Kalimantan Timur”, maka spontan komentarnya “ Oh, Indon”. Apabila ada masalah bahasa yang belum dipahami, maka tidak perlu berlarut-larut karena begitu kembali ke hotel yang kebetulan penjaganya juga berasal dari Indonesia bisa memberikan penjelasan yang menuntaskan sehingga tahulah bahwa yang dimaksud “Indon” adalah orang Indonesia. Belakangan ini banyak “Indon” dikejar-kejar oleh Pasukan Rela karena dianggap masuk ke Malaysia tanpa “ijin permit”. Diantara sekian banyak Pasukan Rela ada juga yang “Indon” . Sementara itu, tidak sedikit pula “Indon” dari Jawa, Sulawesi, Madura, Ambon, NTB maupun dari Sumatera yang sukses bekerja dan menetap di Malaysia bahkan kemudian menjadi warga Negara Malaysia. Kebanyakan mereka mengandalkan tenaga fisik dan ketrampilan, tetapi ada pula yang memiliki keahlian sebagai teknisi, peneliti, pengusaha bahkan tak perlu heran jika ada yang menjadi anggota Tentara Diraja Malaysia.
Seorang peneliti di sebuah lembaga riset yang penulis kunjungi pada akhir bulan Desember 2004 mengaku berasal dari sebuah kota di Sumatera. Sudah puluhan tahun beliau bekerja di lembaga riset itu dan menjadi warga negara Malaysia, namun dengan bangga mengatakan bahwa beliau juga masih tercatat sebagai warga negara Indonesia, memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan bahkan ikut memilih SBY pada Pemilu 2004. Beliau memiliki beberapa hektar kebun di daerah asalnya di Sumatera dan secara berkala menengoknya.
Jika bicara soal pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Malaysia, tidak lepas dari andil seorang pengusaha yang berasal dari Sulawesi. Ada seorang pengusaha yang semula menjadi kontraktor pembangunan kebun kelapa sawit, akhirnya memiliki kebun kelapa sawit sendiri di negeri jiran itu. Partisipasinya yang begitu besar terhadap kerajaan Malaysia, membuat beliau yang sudah menjadi warga negara Malaysia itu mendapatkan gelar “Datuk” suatu gelar kehormatan yang hanya terbatas diberikan oleh Kerajaan kepada mereka yang berjasa istimewa. Rasa nasionalisme yang masih ada, maka mendorong beliau kini membangun kebun kelapa sawit di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur.

Bukan Konflik Pertama.
Sejarah mencatat bahwa konflik Ambalat, bukanlah konflik pertama antara Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya juga ada konflik Sipadan dan Ligitan yang akhirnya terpaksa Indonesia harus menerima kenyataan bahwa Mahkamah Agung Internasional memutuskan bahwa kedua pulau itu masuk wilayah negara Kerajaan Malaysia. Konflik tahun 1963, boleh jadi menjadi konflik yang pertama yaitu pada saat Bung Karno presiden pada saat itu menentang keras pembentukan Federasi Malaysia.
Konflik Ambalat mencuat setelah Pemerintah Indonesia mengirimkan nota diplomatik berupa protes kepada pemerintah Malaysia, atas pemberian konsesi minyak di Blok Ambalat oleh perusahaan minyak negara Malaysia, Petronas kepada perusahaan minyak Shell.
Protes ini menurut Juru Bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa karena pemberian hak konsesi ini dilakukan dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah Timur Kalimantan.
Menurut Marty, klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. \"Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah protes atas penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia Tenggara,\" ujar Marty.
Protes terhadap peta itu menurut Marty, sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara berkala. Indonesia sendiri ujar Marty, telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara lain. \"Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia,\" kata Marty.
Pengalaman perang dari konflik pertama, seyogyanya menjadi pelajaran bagi segenap pihak.

Mengalihkan Perhatian.
Politik konfrontasi dengan Malaysia digalakkan Soekarno pada 8 Januari 1963 setelah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio mengumumkannya secara resmi. Dan saat itu, posisi politiknya masih kuat menyusul kemenangannya di Irian Barat. Tetapi setelah 30 September 1965, hasrat berkonfrontasi dengan Malaysia sepertinya lebih untuk konsumsi dalam negeri daripada sebaliknya.
Soekarno menghadapi demonstrasi mahasiswa yang digerakkan oleh Angkatan Darat yang tak lagi loyal kepadanya. Dan dia percaya, dengan menciptakan musuh di luar, elemen-elemen ini akan terangsang kembali saraf “nasionalisme” nya. Tentu saja tafsir nasionalisme di sini adalah dukungan politik kepada Soekarno.
Sebab, menjual isu perang dengan Malaysia terbukti manjur untuk menyatukan elemen ideologis yang mulai terfragmentasi pasca-pembubaran Masyumi. Ini semakin menguatkan dugaan bahwa Bung Karno yang mulai tidak populer setelah G30S, menciptakan musuh bersama di luar untuk meredam gejolak di dalam negeri. \"Suatu bangsa selalu memerlukan musuh,\" kata Bung Karno saat menyulut konfrontasi.
Perang Sesama “Indon”
Pengalaman perang dengan Malaysia yang dimulai tahun 1963 sungguh mengerikan, banyak korban yang ditimbulkan, tidak sedikit tentara yang maju ke medan perang tidak pernah kembali, ada yang tewas dan ditawan musuh. Diantara mereka ada seorang tentara Angkatan Udara yang berasal dari Madiun yang begitu semangat berangkat maju ke medan perang, tekadnya membela negara. Di medan pertempuran saat tembak menembak, ternyata kehabisan peluru akhirnya dia tertangkap dan menjadi tawanan perang. Penderitaan berat dialami, yang lebih menyakitkan ternyata yang menyiksa adalah Tentara Malaysia asal Ponorogo, orang sesama “Indon”. Masihkah ada yang ingin berperang lagi? Astaghfirullah.