BELAJAR DARI SEJARAH

BELAJAR DARI SEJARAH
Ide tulisan ini muncul ketika penulis menyaksikan berita tentang Gayus setelah vonis, bersamaan dengan itu mendengarkan pula TV Tepian Chanel yang menyiarkan bacaan Al-Qur'an surat Yusuf dan terjemahannya

BUANG PROVOKASI PERANG

BUANG PROVOKASI PERANG
Kliping opini Kunarso 2005

BUANG PROVOKASI PERANG

BUANG PROVOKASI PERANG
Kliping opini Kunarso tahun 2005

Sabtu, 15 Maret 2014



ALHAMDULILLAH,  Acara Ceramah & Konsultasi tentang Waris Menurut Tuntunan Islam telah dilaksanakan di Masjid Jami' Ar-Rasyidin Jl. Jakarta Kelurahan Loa Bakung Samarinda, pada hari Ahad tanggal 14 Jumadil Awal 1435 Hijriyah = 16 Maret 2014 Miladiyah dimulai dengan Shalat Subuh Berjamaah.  Dalam ceramahnya Ustadz Tamim menyampaikan tentang betapa pentingnya ilmu hukum waris faroidh,  sebagai berikut :
Hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukumwaris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungankekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atasharta benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arabketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita darikalangan elite-- bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim-- bagian tiap-tiapahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. Meskipundemikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadipenyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karenakeserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan olehkekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.Kekurangpedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kitapungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: "Betapa banyakmanusia sekarang mengabaikan ilmu faraid."
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkan kepada orang-orang, dan pelajarilah ilmu faraidhdan ajarkan kepada orang-orang. Karena aku adalah orang yang bakal direnggut (mati),sedang ilmu itu bakal diangkat (hilang). Hampir-hampir saja ada dua orang yang bertengkar tentang pembagian harta warisan, tetapi mereka tidak menemukan seorang pun yang mampumemberitahukan kepada mereka.”(H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ad-Daruquthni
Kalam Allah  dalam Al-Qur’an :
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anakperempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagimereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan ituseorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yangmeninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyaianak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapatseperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiatyang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dananak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak,maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudahdipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidakmempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperolehseperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yangkamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baiklaki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidakmeninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing darikedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itulebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudahdipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengantidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itusebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagiMaha Penyantun." (an-Nisa': 12)

Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
  1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
  2. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
  3. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
  4. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
  5. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
Selesai ceramah,  beberapa jama'ah berkonsultasi berkatian dengan masalah waris yang dialami keluarganya. beberapa peserta yang berminat juga meminta untuk  mendapatkan copy file program penghitungan pembagian waris dengan menyimpan di flasdisk.
https://www.facebook.com/azkuna/media_set?set=a.745732872118635.1073741849.100000457866691&type=3